KatongNews, Ambon - Kasus tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar belum lama ini menjadi bukti bahwa MK sudah kebablasan dalam menangani sebuah perkara sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
Pasca Akil Mochtar
ditangkap, ricuh persidangan sengketa Pemilukada Maluku, Kamis (14/11/2013)
sepertinya menjadi puncak dari ketidakpercayaan terhadap benteng terakhir
konstitusi di Republik ini.
Kericuhan tersebut
sekaligus menguatkan keraguan berbagai kalangan terhadap lembaga MK yang sungguh steril. Maklum saja, jauh
sebelumnya muncul pro dan kontra mengenai fungsi MK yang dinilai rawan untuk
menerima suap dalam sengketa Pemilukada di tanah air.
MK dinilai tidak
mempunyai lembaga pengawasan untuk memaksimalkan kinerja lembaga penjaga
konstitusi tersebut, yang berujung Akil Mochtar tertangkap tangan aparat KPK.
Alhasil, muncul
gagasan baru agar penyelesaian sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) diserahkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Langkah itu sebagai
upaya untuk menghindari Mahkamah Konstitusi (MK) terlibat dari praktik korupsi
dalam setiap penyelesaian sengketa Pemilukada. Dan lembaga penyelenggara Pemilu
seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) harus diberikan peran yang lebih ketimbang MK.
Kalau pun sengketa
Pemilukada itu harus masuk ke MK, namun bukan pada tataran peradilan pertama
dan terakhir seperti yang terjadi selama ini. Kalau pun harus masuk MK itu
adalah proses peninjauan kembali, bukan peradilan pertama dan terakhir seperti
sekarang.
Artinya, harus ada
alasan kuat konstitusional untuk membuka perkara sengketa Pemilukada. Dengan
begitu, secara kelembagaan, MK akan dapat fokus mengawal konstitusi negara.
Sebab, di MK-lah arwah supremasi konstitusi itu ada.
Kericuhan saat
sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Provinsi
Maluku di Mahkamah Konstitusi (MK) tentu menjadi perhatian serius karena
pertama kali terjadi sejak MK berdiri pada 2003 silam. Kejadian itu adalah
contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.
Tak sampai disini
saja, selain mewacanakan untuk memberi peran lebih kepada lembaga penyelenggara
Pemilu, muncul juga gagasan agar sengketa
Pemilukada sudah selayaknya diserahkan kepada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah
Agung.
Sayangnya, beban
perkara yang ditangani Mahkamah Agung tergolong luar biasa banyak lebih dari
300 ribu. Apalagi ditambah dengan perkara-perkara pemilihan kepala daerah, beban
akan semakin banyak.
Untuk itu, kendati
sempat tercoreng melalui kasus tangkap tangan Akil Mochtar dan kericuhan yang
terjadi saat sidang sengketa Pemilukada Maluku, hendaknya kepercayaan terhadap
MK bisa dipulihkan
Bahwa sebagai
lembaga yang menangani sengketa Pemilukada dan mengemban amanah konstitusi, MK
harus mampu melakukan pembenahan dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Dalam
hal ini, MK harus konsisten dalam hal keadilan substansif. (CR1)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar